Fakta1.com, Kendari – 19 Mei 2025
Di tengah gemerlap persiapan seminar nasional bertajuk “Kajian Strategis Energi & Hilirisasi dalam Mendukung Pembangunan Nasional” yang digelar Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Daerah (LP2D) Sulawesi Tenggara, suara muda dari jantung Konawe bergema lantang. Bukan dengan amarah, tapi dengan harapan dalam bentuk petisi. Sebuah surat cinta kritis yang ditujukan langsung ke jantung kekuasaan: Menteri ESDM Republik Indonesia.
Anoa Muda Indonesia, organisasi kepemudaan yang kini menjadi bara dalam sekam perubahan, menggulirkan petisi bertajuk “Affirmative Action for Konawe”. Mereka tak sekadar menyambut kedatangan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, namun menggelar panggung suara hati anak negeri yang telah lama mengendap di dasar perhatian negara.
“Seminar ini bukan hanya tentang energi, tapi tentang energi perubahan. Kami tidak datang untuk menentang, kami datang untuk didengar,” ujar Achmad Mubarak Feni, salah satu pendiri Anoa Muda Indonesia yang juga mantan aktivis HMI Konawe.
Ia menyebut momen seminar ini sebagai “dua matahari yang menyinari Sultra”, karena di satu sisi menghadirkan pemangku kebijakan nasional, dan di sisi lain membuka ruang bagi suara-suara lokal yang selama ini terpinggirkan.
Menurut Mubarak, sebelum industri tambang dunia menyentuh tanah Morosi, Kabupaten Konawe telah mampu berdiri di atas kaki sendiri. Ironisnya, setelah hadirnya investasi besar, justru utang daerah kian menggunung. “Kami tidak anti-industri, tapi kami menolak menjadi taman belakang dari proyek-proyek besar yang hanya meninggalkan debu janji,” tegasnya.
Gerakan ini digalang oleh aktivis Universitas Lakidende bersama alumni organisasi Cipayung Konawe angkatan 2007. Mereka menyebut gerakan ini bukan pemberontakan, tapi panggilan nurani. “Negara harus melihat kami, bukan dengan kaca mata birokrasi, tapi dengan mata hati,” ujar Armadis Sinapoy, salah satu inisiator.
Petisi ini menyoroti pentingnya affirmative action — sebuah bentuk kebijakan keberpihakan khusus — untuk Kabupaten Konawe, sebagai daerah yang telah tujuh tahun menjadi titik vital politik dan produksi nasional, namun belum menikmati buah keadilannya.
Andriyadi Mulayadi, alumni aktivis PMII Konawe, menekankan bahwa Konawe telah menyumbang wajah diplomasi Indonesia ke mata dunia lewat industri strategisnya. “Tapi wajah kami sendiri masih kusut di depan cermin republik,” sindirnya tajam.
Malam ini, sebelum seminar nasional berlangsung, mereka berencana menggelar aksi simbolik di jantung Kota Unaaha. “Kami tak membawa spanduk kemarahan, tapi membawa secarik harapan yang ditulis dengan tinta perjuangan,” ujar eks Ketua BEM Unilaki 2012 itu.
Dalam petisi yang akan langsung diserahkan ke Menteri Bahlil, mereka menuntut:
- Kepatuhan dan ketepatan pembayaran kewajiban perusahaan industri Morosi,
- Relokasi lahan pertanian seluas 500–1.000 ha yang telah dijanjikan oleh tiga menteri pada 2018,
- Pembebasan wilayah Puriala dan Pondidaha dari kerumitan regulasi penambangan demi peningkatan usaha rakyat,
- Garansi peningkatan nilai jual mineral Konawe, dan
- Kesetaraan alokasi kas daerah sebagai bentuk keadilan fiskal nasional.
“Konawe bukan sekadar titik di peta, tapi detak jantung industri nasional. Kami telah menjadi jembatan emas bagi kepentingan negara, sudah saatnya kami dilihat bukan sebagai beban, tapi sebagai mitra sejati pembangunan,” pungkas Mubarak.(*)