banner 728x90

Dugaan Pungli Dana Desa Kasu Mewuho: Mandek di Kepolisian, Warga Desak Penegakan Hukum yang Tegas dan Serius

  • Bagikan
Silakan Bagikan:

Fakta1.com, Wawotobi, Sulawesi Tenggara — Kasus dugaan tindak pidana pungutan liar (pungli) yang menyeret Kepala Desa Kasu Mewuho, Kecamatan Wawotobi, terus bergulir tanpa kejelasan. Perkara yang telah dilaporkan secara resmi ke Polres Konawe pada Jumat, 22 Maret 2024 tersebut, hingga kini belum menunjukkan progres penyelidikan maupun kepastian hukum yang diharapkan masyarakat.

Kepala Desa berinisial ISW diduga telah melakukan pemotongan gaji aparatur desa secara sepihak tanpa dasar hukum yang sah. Salah satu korban, aparat desa berinisial WN, menyatakan bahwa ia hanya menerima Rp 300.000 dari gaji semestinya sebesar Rp 894.000. Ketika dipertanyakan, Kepala Desa berdalih bahwa dana tersebut digunakan untuk pembayaran pajak desa. Namun menurut WN, dalih tersebut tidak berdasar dan justru merupakan bentuk manipulasi kewenangan serta pengabaian terhadap prinsip akuntabilitas dan transparansi keuangan desa.

“Ini adalah bentuk nyata penyalahgunaan wewenang yang melanggar hukum. Pemotongan hak kami tanpa dasar jelas merupakan pelanggaran terhadap prinsip keadilan sosial dan perlindungan hak keuangan aparat desa. Kami menilai tindakan ini telah memenuhi unsur pidana pungli sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” ujar WN dengan tegas.

Ia melanjutkan, “Saya mendesak agar pihak kepolisian, kejaksaan, dan inspektorat tidak bermain-main dalam menangani kasus ini. Jangan ada kesan pembiaran, apalagi dugaan kongkalikong yang dapat mencederai marwah penegakan hukum. Ini menyangkut kepercayaan publik terhadap institusi hukum.”

Dalam pandangan hukum, praktik pungli termasuk dalam tindak pidana korupsi kategori pemerasan jabatan, dan pelakunya dapat dijerat dengan pidana penjara minimal 4 tahun hingga maksimal 20 tahun serta denda Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar. Oleh sebab itu, kealpaan penegak hukum dalam menindaklanjuti laporan ini patut dipertanyakan, karena bertentangan dengan prinsip lex superior derogat legi inferiori, di mana UU Pemberantasan Tipikor seharusnya menjadi dasar prioritas.

Ketidakseriusan penanganan perkara ini tidak hanya menunjukkan kelalaian, tetapi juga berpotensi melahirkan preseden buruk dalam tata kelola pemerintahan desa. Maka, masyarakat Desa Kasu Mewuho melalui para pelapor meminta agar proses hukum ini segera diambil alih atau didampingi oleh lembaga independen seperti Kejaksaan Negeri atau Inspektorat Jenderal Kemendagri untuk menjamin independensi dan objektivitas penyelidikan.

Lebih jauh, WN mengingatkan bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya slogan. “Pemberantasan korupsi adalah amanat konstitusi dan kewajiban moral seluruh lembaga negara. Bila aparat hukum lalai menindak pelanggaran yang terjadi di desa, maka sama saja membiarkan benih-benih korupsi tumbuh dari akar pemerintahan yang paling bawah.”

Masyarakat kini berharap kasus ini menjadi momentum evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola Dana Desa serta pengawasan internal di tingkat kecamatan dan kabupaten. Ketegasan aparat dan transparansi penyelesaian perkara akan menjadi tolak ukur komitmen negara dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu.(*)

banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *