Fakta1.com, Konawe Utara — Ratusan buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh Indonesia Bersatu (SBIB) Kabupaten Konawe Utara turun ke jalan, Senin (6/10/2025), menuntut PT Adhi Kartiko Pratama (AKP) mencabut laporan polisi terhadap delapan aktivis buruh yang disebut sedang memperjuangkan hak berserikat. Aksi damai ini berlangsung di depan kantor perusahaan sejak pagi dan diikuti lebih dari seribu orang dari berbagai elemen masyarakat.
Dengan spanduk besar bertuliskan “Stop Kriminalisasi Buruh” dan “Cabut Laporan Polisi!”, massa menilai laporan ke Polda Sulawesi Tenggara itu bukan hanya bentuk pembungkaman, tetapi juga serangan langsung terhadap kebebasan berserikat yang dijamin undang-undang.
Ketua DPC SBIB Konawe Utara, Ayub Sony Pratomo, mengecam keras langkah PT AKP yang melaporkan para aktivis ke kepolisian. Menurutnya, tindakan itu mencederai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
“Langkah PT AKP ini bukan hanya mencederai hukum, tapi juga nurani. Mereka melaporkan pekerja yang memperjuangkan hak berserikat, seolah-olah memperjuangkan keadilan itu kejahatan,” ujar Ayub kepada Media Fakta.com.
Ia menegaskan, perjuangan para buruh bukan bentuk perlawanan terhadap perusahaan, melainkan upaya menata hubungan industrial yang adil dan beradab.
“Kami ingin perusahaan paham, buruh bukan musuh. Kami mitra kerja. Tapi kalau suara kami dibungkam dengan laporan polisi, maka itu bentuk penindasan baru,” tegasnya.
Dalam pernyataan sikapnya, SBIB menyampaikan tiga tuntutan tegas kepada PT AKP dan aparat penegak hukum:
1. Hentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap pengurus dan aktivis buruh.
2. Cabut laporan polisi di Polda Sulawesi Tenggara yang dinilai melanggar hak asasi dalam menyampaikan pendapat.
3. Hentikan penyidikan terhadap delapan buruh yang dilaporkan.
Sekretaris SBIB, Ikbal Aco, menegaskan pihaknya tidak akan berhenti sampai laporan tersebut resmi dicabut.
“Kami tidak akan mundur. Hari ini delapan orang dikriminalisasi, besok bisa lebih banyak lagi. Negara harus hadir melindungi buruh, bukan menutup mata,” ujarnya lantang.
Menurut Ikbal, apa yang terjadi di PT AKP adalah cerminan lemahnya perlindungan negara terhadap hak dasar pekerja.
“Jika buruh yang bersuara dikriminalisasi, berarti ruang demokrasi di dunia kerja sedang sekarat,” katanya.
Ia juga menyoroti sikap aparat yang cenderung berpihak.
“Polisi seharusnya menjadi penengah, bukan alat kekuasaan perusahaan,” tambahnya.
Aksi SBIB kali ini tidak berdiri sendiri. Dukungan datang dari KSPN, Ormas Tamalaki Sultra, dan sejumlah mahasiswa. Mereka menilai, jika laporan terhadap delapan aktivis buruh dibiarkan, maka hal itu bisa menjadi preseden berbahaya bagi masa depan kebebasan berserikat di Sulawesi Tenggara.
Salah satu peserta aksi, Endang Saputra, menyebut tindakan perusahaan sebagai bentuk pembungkaman.
“Kalau buruh bertanya soal haknya lalu dijadikan tersangka, itu artinya demokrasi di tempat kerja sudah mati. Kami datang bukan untuk cari ribut, tapi menuntut keadilan,” ujarnya tegas.
Namun, suasana sempat memanas ketika terjadi dorong-mendorong antara massa dan aparat keamanan. Berdasarkan pantauan Fakta.com, salah satu peserta aksi mengalami luka di bagian kepala akibat pemukulan tongkat oleh oknum polisi yang bertugas di lapangan. Korban sempat tersungkur dan langsung dievakuasi ke posko medis untuk mendapatkan perawatan.
“Kami datang dengan damai, tapi justru dipukul oleh aparat yang seharusnya melindungi rakyat. Ini sudah melewati batas,” ucapnya dengan nada geram.
Ia juga mendesak Kapolda Sulawesi Tenggara untuk menindak tegas oknum polisi yang terlibat.
“Jangan hanya buruh yang diperiksa. Kalau aparat bersalah, harus juga diproses hukum. Hukum itu tidak boleh tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” tegasnya.
Endang menambahkan, pemerintah daerah dan aparat hukum harus bersikap netral serta berpihak pada kebenaran.
“Kami tidak butuh janji manis, kami butuh keadilan nyata. Jangan biarkan buruh terus jadi korban sistem yang timpang,” ujarnya.
Ayub kembali menegaskan bahwa SBIB terbuka untuk berdialog dengan pihak manajemen. “Kami ingin menyelesaikan ini secara baik-baik. Tapi selama laporan itu belum dicabut, kami akan terus bergerak. Karena ini bukan sekadar tentang delapan orang, ini tentang martabat buruh,” katanya.
SBIB juga mendesak Pemerintah Kabupaten Konawe Utara untuk turun tangan memfasilitasi pertemuan antara kedua belah pihak.
“Kami percaya masih ada jalan keadilan, selama pemerintah tidak tutup mata,” ujar Ikbal.
Fenomena seperti yang terjadi di PT Adhi Kartiko Pratama bukan kasus baru. Di berbagai daerah, kriminalisasi buruh kerap dijadikan alat untuk membungkam serikat pekerja yang kritis. Dalam konteks ini, Fakta.com menilai aparat penegak hukum harus berhenti menjadi perpanjangan tangan korporasi. Undang-undang menjamin hak berserikat, namun di lapangan, perusahaan besar sering kali lebih berkuasa daripada hukum itu sendiri.
Kebebasan berserikat bukan sekadar pasal di atas kertas — ia adalah roh dari demokrasi ekonomi. Bila buruh takut bersuara karena ancaman pidana, maka hubungan industrial akan berubah menjadi relasi tuan dan budak.
Hingga berita ini diturunkan, pihak manajemen PT Adhi Kartiko Pratama belum memberikan keterangan resmi terkait desakan pencabutan laporan. Aparat keamanan tampak berjaga di lokasi aksi untuk memastikan kegiatan berjalan kondusif.
Namun di mata para buruh, diamnya perusahaan hanya mempertegas satu hal:
ketimpangan kekuasaan di dunia kerja masih nyata, dan perjuangan buruh belum selesai.