Jakarta, Kamis 20 November 2024 – Koalisi Aktivis Pemerhati Lingkungan dan Pertambangan (Kapitan Sultra) dan Lembaga Pemerhati dan Pemberdayaan Masyarakat Indonesia (LPPM) mengeluarkan pernyataan tegas terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh CV Unaaha Bakti Persada, perusahaan penambang ore nikel yang beroperasi di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Dua lembaga tersebut mendesak Kementerian ESDM dan Polri untuk segera memanggil dan memeriksa Direktur CV Unaaha Bakti Persada terkait aktivitas penambangan yang diduga melanggar aturan.
Asrul Rahmani, Ketua Kapitan Sultra, dan Andi Ifitra, Ketua LPPM, dalam keterangan yang disampaikan kepada awak media mengungkapkan bahwa mereka menduga perusahaan tersebut telah melakukan penambangan di luar izin usaha produksi yang telah disetujui. “Kami menduga aktivitas penambangan ore nikel oleh CV Unaaha Bakti Persada sudah melampaui titik koordinat yang tertera dalam izin, dan hal ini sangat mencurigakan,” ujar Asrul.
Menurut Asrul dan Ifitra, pihaknya mendapati adanya indikasi penyimpangan dalam proses produksi, seperti ketidaksesuaian antara data eksplorasi, laporan Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB), serta kuota produksi dan penjualan. Mereka juga mencurigai adanya praktik ilegal, di mana tempat galian yang dilaporkan oleh perusahaan digunakan sebagai lokasi penyimpanan barang hasil produksi ore nikel yang tidak tercatat dalam izin resmi, dengan dugaan pengangkutan menggunakan dump truck dari lokasi yang tidak sah, terutama pada malam hari.
Lebih lanjut, kedua lembaga ini menegaskan bahwa pelanggaran tersebut dapat merujuk pada pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba), yang telah diubah melalui Undang-Undang Cipta Kerja. Dalam UU tersebut, pada pasal 161 dinyatakan bahwa setiap orang yang menampung, memanfaatkan, mengolah, atau menjual hasil tambang yang tidak berasal dari pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dapat dikenakan pidana 5 tahun penjara dan denda hingga 100 miliar rupiah.
Selain itu, Asrul dan Ifitra juga menyoroti potensi pelanggaran lain, seperti yang diatur dalam pasal 159, 70 huruf e, serta pasal-pasal lain yang mengatur tentang laporan yang sengaja disampaikan tidak benar. Jika terbukti, pelanggaran ini dapat dikenakan pidana penjara hingga 5 tahun dan denda yang sama besarnya.
Saat ditemui di Jakarta, Asrul dan Andi Ifitra mengungkapkan niat mereka untuk segera melaporkan dugaan pelanggaran ini ke Kementerian ESDM dan Mabes Polri. “Kami berharap kementerian dan kepolisian segera turun tangan untuk menyelidiki hal ini secara menyeluruh,” tambah Andi Ifitra.
Andi juga menegaskan bahwa momentum ini sangat penting, seiring dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyerukan pemberantasan korupsi dan penambangan ilegal. “Kami berharap bukan hanya korupsi yang diusut, tetapi juga pelanggaran yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat, seperti perambahan hutan atau penambangan tanpa izin,” tandas Andi.
Sementara itu, Pihak terkait yang disoroti belum mengeluarkan keterangan resminya.