FAKTA1.COM, KONAWE – Di tengah gegap gempita pembangunan yang terus digaungkan pemerintah, masih ada potret kehidupan yang jauh dari kata layak. Di sebuah sudut Kelurahan Lawulo, Kabupaten Konawe, berdiri sebuah rumah reyot yang nyaris roboh dan dinding tersusun dari papan rapuh, sebagian besar lapuk dimakan usia serta Atapnya pun tak lagi mampu melindungi dari terik matahari maupun derasnya hujan. Ironisnya, rumah itu bahkan tidak memiliki fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK).
Di rumah sederhana tersebut, sepasang suami istri menghabiskan hari-harinya. Mereka hidup dalam keterbatasan, namun tetap berusaha bertahan dengan sisa tenaga dan kesabaran yang dimiliki.
Sang kepala keluarga, La Bade, setiap hari bekerja serabutan di kebun sawit milik orang lain. Upahnya tidak menentu, hanya ada ketika tenaganya dibutuhkan. Meski demikian, perjuangan itu tidak mudah baginya karena tangan kirinya cacat dan tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Di sisi lain, sang istri pun harus menghadapi ujian lain. Penglihatannya kian hari kian melemah, membuat aktivitas sederhana seperti memasak dan membersihkan rumah menjadi beban yang berat. Meski tubuh renta mereka terus diuji, keduanya memilih tetap tegar.
“Kalau mau buang air, kami hanya bisa numpang di rumah tetangga. Sampai sekarang belum pernah ada bantuan, padahal rumah ini sudah tidak layak,” ungkap La Bade dengan suara lirih, matanya menunduk menahan rasa getir.
Kondisi keluarga ini membuat warga sekitar iba. Sesekali ada yang datang membawa makanan atau sekadar membantu. Namun mereka sadar, uluran tangan tetangga hanya bisa meringankan sesaat, bukan menyelesaikan persoalan mendasar.
“Kami sedih melihat keadaan mereka. Kalau soal makan, kami kadang bisa bantu. Tapi rumah yang sudah mau roboh dan tidak adanya WC jelas butuh perhatian dari pemerintah,” tutur seorang warga dengan nada penuh harap.
Sayangnya, hingga kini belum ada tanda-tanda kepedulian dari pemerintah setempat. Baik pihak kelurahan maupun dinas terkait belum memberikan kepastian apakah keluarga kecil di Lawulo itu akan masuk dalam program bedah rumah ataupun pembangunan fasilitas MCK.
Padahal, rumah layak bukan sekadar bangunan fisik. Ia adalah hak dasar setiap warga negara—ruang aman untuk beristirahat, tempat berteduh dari panas dan hujan, sekaligus simbol martabat kemanusiaan.
Bagi La Bade dan istrinya, memiliki rumah yang kokoh hanyalah sebuah impian yang terus mereka panjatkan dalam doa. Harapan itu kini mereka tujukan bukan hanya kepada pemerintah Kabupaten Konawe, tetapi juga kepada pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Mereka percaya, perhatian nyata dari kedua tingkatan pemerintahan dapat menghadirkan kehidupan yang lebih manusiawi bagi keluarga kecil ini.
Sebab, di balik papan lapuk itu, ada hati yang masih bertahan dengan segala luka dan kekurangan. Ada doa yang terus dipanjatkan, agar keadilan sosial benar-benar hadir di Lawulo—bukan sekadar menjadi slogan di atas kertas.(*)