banner 728x90

Diduga Tak Mengantongi Surat Perintah, Oknum Polisi di Konawe Melakukan Pengawalan Alat Berat

  • Bagikan
Silakan Bagikan:

Fakta1.com, Konawe – Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Morosi (HIPPMA Morosi) menyampaikan sikap tegas terhadap dugaan pengawalan alat berat tanpa surat perintah resmi yang melibatkan oknum aparat kepolisian di Kabupaten Konawe.

“Kami menuntut agar Kapolres Konawe segera turun tangan melakukan klarifikasi secara terbuka kepada masyarakat, sehingga tidak ada lagi ruang bagi isu liar yang menimbulkan keresahan. Oknum aparat yang terbukti terlibat harus ditindak tegas, supaya tidak ada kesan hukum hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas,” tegas Muh. Zulfakri Abdillah, Ketua Umum HIPPMA Morosi, dalam pernyataan resminya.

Kasus ini mencuat di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap integritas aparat. Dugaan pelanggaran hukum berupa pengawalan tanpa dasar administrasi menimbulkan pertanyaan serius: apakah kepolisian masih menjalankan fungsi penegakan hukum yang netral, atau justru memperlihatkan wajah lain dari praktik penyalahgunaan wewenang?

Menurut keterangan saksi, alat berat berbobot puluhan ton dikawal dua motor polisi di depan dan dua di belakang. Iring-iringan itu tampak seperti operasi resmi karena menggunakan kendaraan dinas. Namun, sepanjang perjalanan tidak ada tanda-tanda adanya dokumen perintah atau surat tugas resmi yang menjadi dasar hukum dari kegiatan pengawalan tersebut.

Informasi lapangan menyebut, alat berat tersebut akan digunakan untuk proyek infrastruktur di wilayah Konawe. Persoalannya, jalur kabupaten yang dilintasi memiliki daya dukung terbatas. Secara aturan, kendaraan berbobot besar hanya bisa melintas bila ada izin resmi dari instansi teknis dan pengawalan sah yang didasarkan pada surat perintah kepolisian.

Sejumlah akademisi hukum menilai tindakan tersebut merupakan bentuk pelanggaran hukum administratif dan disiplin kepolisian. Prosedur operasional standar (SOP) Polri secara jelas mengharuskan adanya surat perintah sebagai dasar setiap kegiatan pengamanan dan pengawalan. Tanpa itu, pengawalan dianggap tidak sah.

“Jika benar tidak ada surat perintah, maka secara hukum pengawalan itu cacat administrasi dan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran disiplin serta etika kepolisian. Bahkan, apabila ditemukan adanya keuntungan pribadi, maka hal tersebut berpotensi masuk ke ranah tindak pidana,” ujar seorang akademisi hukum tata negara Universitas Halu Oleo.

Lebih lanjut, praktik ini berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang melarang pejabat publik menggunakan kewenangannya di luar mandat hukum yang sah. Hal ini sekaligus mencederai Kode Etik Profesi Polri (KEPP) yang menekankan integritas, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap hukum.

Seorang pemerhati etik kepolisian menambahkan, pengawalan tanpa dasar hukum dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap sumpah jabatan. “Polisi harus berdiri di atas kepentingan publik, bukan mengabdi pada kepentingan proyek. Jika praktik seperti ini dibiarkan, masyarakat akan menilai kepolisian bisa diprivatisasi oleh pihak tertentu,” tegasnya.

Selain melanggar administrasi dan etik, dugaan ini juga berpotensi masuk kategori pelanggaran hukum pidana. Tidak menutup kemungkinan terdapat unsur gratifikasi atau penyalahgunaan wewenang, yang bisa dijerat dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Fenomena semacam ini kerap disebut sebagai privatisasi kewenangan negara, ketika kekuasaan hukum dipakai bukan untuk rakyat, melainkan untuk kepentingan kelompok tertentu.

Hingga berita ini diterbitkan, Polres Konawe maupun Polda Sultra belum memberikan keterangan resmi. Upaya konfirmasi wartawan juga tidak membuahkan hasil. Diamnya institusi justru memperbesar dugaan publik bahwa ada sesuatu yang ditutupi.

Dalam prinsip good governance, transparansi adalah kewajiban, bukan pilihan. Semakin lama klarifikasi ditunda, semakin besar pula kerusakan citra institusi di mata masyarakat.

Kasus ini pada akhirnya bukan sekadar soal alat berat, melainkan soal uji kredibilitas hukum dan konsistensi kepolisian. Apakah Polri benar-benar menegakkan hukum dengan adil, ataukah hukum menjadi tumpul ke dalam dan tajam ke luar?

“Hukum tidak boleh pilih kasih. Jika rakyat kecil bisa ditindak karena melanggar aturan, maka aparat yang menyalahgunakan jabatan juga wajib diproses dengan standar yang sama. Jika tidak, maka kita tidak lagi hidup dalam negara hukum, melainkan negara kekuasaan,” pungkas seorang praktisi hukum di Sulawesi Tenggara.(*)

banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *