Jakarta, Fakta.com — Puluhan massa yang tergabung dalam Forum Masyarakat Anti Korupsi (Formasi) kembali menggelar aksi unjuk rasa di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia, Jumat, 7 November 2025. Aksi tersebut merupakan lanjutan dari demonstrasi pada Senin, 3 November lalu, sebagai bentuk tekanan moral terhadap lembaga antirasuah agar menindaklanjuti dugaan korupsi proyek infrastruktur di Sulawesi Tenggara.
Koordinator Lapangan Formasi, Arnol Ibnu Rasyid, mengungkapkan bahwa pihaknya membawa sejumlah bukti baru terkait dugaan pungutan liar (pungli) dan suap pada proyek Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3A-TGAI) di wilayah tersebut.
“Kasus ini harus segera diungkap secara transparan oleh KPK RI. Oknum anggota DPR RI daerah pemilihan Sulawesi Tenggara berinisial RB, serta Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Wilayah IV Kendari dan jajaran Satuan Kerja di bawahnya, mesti segera diperiksa,” tegas Arnol di depan gedung KPK, Jumat (7/11/2025).
Arnol menjelaskan, dugaan keterlibatan RB tidak berhenti pada proyek irigasi semata, tetapi juga menjalar ke sejumlah kegiatan strategis lain, termasuk proyek pembangunan rumah susun di beberapa kabupaten di Sultra.
“RB ini diketahui duduk di komisi DPR yang menjadi mitra kerja Kementerian PUPR, sehingga akses terhadap proyek-proyek strategis nasional di daerahnya sangat terbuka. Dugaan adanya permainan proyek menjadi hal yang patut dicurigai,” ujarnya.
Aktivis yang juga alumni Universitas Ibnu Chaldun Jakarta itu menegaskan bahwa KPK tidak boleh bersikap pasif dalam menindak dugaan ini. Ia menekankan pentingnya pendekatan hukum yang objektif, berbasis data, dan berkeadilan.
“Jika praktik seperti ini dibiarkan, itu akan menjadi penyakit sistemik dalam pembangunan infrastruktur di Sultra. KPK harus hadir sebagai instrumen hukum yang menjaga integritas penyelenggara negara,” tambahnya.
Nada serupa disampaikan Hendro Nilopo, Direktur Aliansi Masyarakat Peduli Hukum (Ampuh) Sulawesi Tenggara, yang menilai bahwa kasus ini menjadi preseden buruk bagi tata kelola proyek pemerintah.
“KPK harus profesional dan tidak pandang bulu. Siapa pun yang terlibat dalam praktik suap dan pungli proyek P3A-TGAI harus segera diproses hukum, baik pejabat pusat maupun daerah,” ujar Hendro.
Hendro juga mendesak KPK untuk menelusuri aliran dana dan pihak penerima manfaat dari dugaan pungli tersebut, mengingat adanya bukti kuat berupa transfer dana yang telah diserahkan kepada penyidik.
“Dalam bukti transfer yang dikantongi Formasi, tercantum jelas nominal, penerima, dan peruntukannya. Salah satu transfer senilai Rp100 juta diterima oleh seseorang berinisial MSR, yang diduga sebagai imbalan untuk mendapatkan proyek P3A-TGAI di Sultra,” ungkapnya.
Menurut Hendro, temuan tersebut dapat dijadikan alat bukti permulaan yang cukup, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, untuk menelusuri dugaan pelanggaran Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“KPK perlu segera menggunakan kewenangan penyelidikan dan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang KPK, agar tidak muncul kesan impunitas terhadap elite politik maupun pejabat kementerian,” tegasnya.
Sebagai penutup, Hendro menegaskan bahwa gerakan masyarakat sipil akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas.
“Kami tidak akan berhenti pada demonstrasi hari ini. Ini adalah gerakan moral berbasis konstitusi untuk menegakkan prinsip equality before the law. Jika hukum tajam hanya ke bawah dan tumpul ke atas, maka cita-cita reformasi pemberantasan korupsi kehilangan maknanya,” pungkas Hendro.
“KPK harus membuktikan bahwa keadilan tidak bisa dibeli dan integritas tidak dapat dinegosiasikan,” tandasnya.(*)















