Konawe, Fakta1.com – Di saat bangsa Indonesia bersiap merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia, warga Kelurahan Inalahi, Kecamatan Wawotobi, Kabupaten Konawe, justru masih hidup dalam kegelapan. Puluhan kepala keluarga di wilayah ini belum menikmati aliran listrik—simbol nyata bahwa kemerdekaan belum sepenuhnya merata.
Berdasarkan data dari masyarakat setempat, saat ini terdapat 31 rumah, 38 kepala keluarga (KK), dan 127 jiwa yang bermukim di wilayah tersebut. Ironisnya, tak satu pun rumah warga yang teraliri listrik dari PLN. Ketika malam tiba, seluruh lingkungan diselimuti gelap gulita. Anak-anak kesulitan belajar, warga tak bisa beraktivitas, dan rasa aman pun makin jauh dari harapan.
Ketua RT 02/RW 01 Kelurahan Inalahi, Aswan D., mengungkapkan bahwa setahun yang lalu, jumlah rumah di wilayah tersebut mencapai 47 unit, namun sebagian warga memilih pindah ke daerah lain karena tak sanggup lagi hidup tanpa listrik.
“Kalau malam itu gelap total. Anak-anak tidak bisa belajar, bahkan mau isi HP saja susah. Makanya banyak yang pindah. Dulu ada 47 rumah, sekarang tinggal 31,” tutur Pak RT dengan nada lirih, Rabu (6/8/2025).
“Kami ini belum merdeka. Tahun berganti, pemerintah berganti, tapi kami tetap hidup dalam gelap,” tambahnya.
Ketiadaan listrik bukan sekadar persoalan penerangan. Dampaknya merambat pada akses pendidikan anak-anak, keterbatasan informasi, hingga stagnasi ekonomi warga. Di era digital seperti sekarang, masyarakat Inalahi justru masih bertahan dengan lampu minyak dan lilin sebagai sumber penerangan utama.
Saat dikonfirmasi melalui sambungan WhatsApp, Lurah Inalahi, Samsia Majenuddin, SE., membenarkan kondisi tersebut.
“Iya, memang benar sampai hari ini sebagian besar wilayah kami belum mendapatkan jaringan listrik. Kami sudah pernah mengajukan permohonan dan usulan ke instansi terkait, tapi belum terealisasi. Ini menjadi PR besar yang terus kami upayakan agar warga bisa segera menikmati listrik,” jelasnya.
Samsia menambahkan bahwa pihak kelurahan telah beberapa kali melakukan pendataan dan menyampaikan permohonan kepada dinas terkait maupun PLN. Namun hingga kini, belum ada langkah konkret yang dilakukan untuk menjangkau wilayah Inalahi dengan jaringan listrik.
“Kami sangat berharap ada perhatian serius dari pemerintah kabupaten maupun provinsi. Kasihan masyarakat kami yang masih hidup tanpa penerangan,” tambahnya.
Menjelang HUT ke-80 Republik Indonesia, Samsia mengaku telah mengimbau warganya untuk tetap menunjukkan semangat nasionalisme dengan memasang umbul-umbul dan bendera merah putih di depan rumah masing-masing.
“Baru tahun ini, kami dari pihak kelurahan secara resmi mengarahkan warga untuk memasang bendera dan umbul-umbul. Mudah-mudahan ini menjadi langkah awal—dengan mengibarkan bendera merah putih, kita bisa benar-benar merdeka, dan semoga setelah ini, penerangan juga menyusul hadir,” ungkap Samsia penuh harap.
Salah satu warga, yang enggan disebutkan namanya, mengungkapkan rasa kecewa dan getir atas situasi yang terus berulang setiap tahun.
“Kalau sudah dekat pemilu, kami baru dicari-cari. Entah itu pilpres, pilgub, pilkada, atau pileg—semua datang janji-janji. Saat itu, kami dianggap warga Konawe. Tapi setelah itu, kami dilupakan. Padahal, kebutuhan dasar seperti listrik ini seharusnya sudah lama kami nikmati,” ungkapnya dengan nada kesal.
Ia menambahkan, bahwa warga Inalahi tidak menuntut kemewahan. Mereka hanya ingin hidup dengan layak, bisa belajar di malam hari, mengisi daya telepon, atau sekadar merasa aman saat gelap melanda.
Di tengah semangat nasionalisme menjelang peringatan hari kemerdekaan, kenyataan pahit ini menjadi ironi. Di Kabupaten Konawe—wilayah yang tak jauh dari jantung pemerintahan daerah—masih ada masyarakat yang belum menikmati hak dasar sebagai warga negara.
Warga Kelurahan Inalahi berharap agar tahun ini menjadi titik balik. Mereka tidak meminta lebih—hanya ingin merasakan terang di malam hari, seperti saudara-saudara mereka di wilayah lain yang telah lama merdeka.















