Fakta1.com, Kendari, 16 Juli 2025 — Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Lakidende (BEM UNILAKI), Aksar, secara tegas mendesak Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (Polda Sultra) untuk segera menuntaskan penanganan perkara dugaan tindak pidana pengrusakan yang diduga melibatkan oknum anggota Polri aktif, Inspektur Dua (Ipda) AG, bersama dua individu sipil, yakni Hj. Bunga Tang dan Muh. Hijar Tongasa.
Tuntutan tersebut dilayangkan menyusul lambannya respons dan tindakan dari aparat penegak hukum atas laporan warga Kelurahan Lepo-Lepo, inisial YA, yang melaporkan kerusakan fisik terhadap pagar serta fasilitas panjat tebing miliknya, yang ditengarai sebagai akibat dari aktivitas pembangunan talud di atas lahan yang diklaim milik Hj. Bunga Tang.
Dalam pernyataannya, Aksar menyampaikan kekecewaan mendalam terhadap kinerja penyidik yang dinilainya tidak menjunjung asas transparansi dan akuntabilitas hukum, serta mengindikasikan adanya kecenderungan melindungi terduga pelaku. Ia secara eksplisit mendesak agar Hj. Bunga Tang segera diperiksa dalam kapasitasnya sebagai pihak yang mengklaim kepemilikan lahan, serta mendesak agar Muh. Hijar Tongasa ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan alat bukti yang telah dihimpun.
Selain itu, Aksar menuntut agar Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polda Sultra memeriksa dan mengevaluasi kinerja penyidik yang menangani perkara dimaksud. Ia juga menyerukan kepada Kepala Kepolisian Daerah Sultra agar melakukan pergantian terhadap penyidik yang diduga telah menunjukkan sikap tidak profesional dan tidak memenuhi standar integritas penyidikan.
“Kami menuntut ditegakkannya prinsip keadilan demi menjaga marwah dan kredibilitas institusi penegak hukum di mata publik,” tegas Aksar dalam keterangannya kepada media, Rabu, 16 Juli 2025.
Peristiwa tersebut bermula saat pihak pengembang perumahan dengan Hj. Bunga tang sebagai penanggung jawab developernya melakukan penimbunan dilahan miliknya yang berbatasan dgn pagar milik warga yang berinisial YA. Kemudian, timbunan tersebut disandarkan dan di padatkan memakai alat berat berupa exavator menyebabkan pagar tembok retak dan ambruk, akibat ambruknya pagar tembok tersebut sarana panjat tebing dan taman pun ikut serta rusak. Setelah ambruknya pagar pihak developer menarik kembali tanah timbunan yang bersandar ditembok untuk menghilangkan bukti, kemudian membangun pondasi tanpa mempertimbangkan aspek standar teknis dan aspek lingkungannya.
Pelapor, YA, menyampaikan laporan resminya kepada Polda Sultra pada Januari 2025. Namun, hingga kini proses hukum yang berjalan dinilai berjalan lamban. Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) baru diterbitkan pada 17 Februari 2025, disusul dengan pemanggilan klarifikasi terhadap para pihak pada 17 Maret 2025. Upaya penyelesaian secara mediasi yang dilaksanakan pada 25 April 2025 tidak membuahkan hasil, karena pihak Ipda AG hanya mengajukan tawaran ganti kerugian senilai Rp20 juta, angka yang jauh dari total estimasi kerugian yang dialami korban.
Kuasa hukum YA, advokat Feyrus Okjam, menyampaikan bahwa pihaknya telah mengajukan laporan dugaan pelanggaran etik oleh Ipda AG ke Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Sultra.
“Kami menduga Ipda AG menggunakan posisinya sebagai anggota aktif di Irwasda Polda Sultra untuk memproteksi pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pengrusakan tersebut,” ujar Feyrus.
Feyrus juga menyesalkan sikap pasif aparat dalam menanggapi perkembangan laporan etik tersebut. Menurutnya, jawaban penyidik Propam bahwa pihaknya masih menunggu hasil gelar perkara di Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) tidak berdasar dan bertentangan dengan prinsip independensi dalam penanganan pelanggaran kode etik.
“Kami mempertanyakan mengapa laporan etik yang kami ajukan lebih dahulu harus tunduk dan menunggu hasil dari proses pidana. Ini jelas merugikan klien kami dan melemahkan upaya pencarian keadilan,” ungkap Feyrus.
Pihaknya menegaskan akan terus mengawal kasus ini sampai keadilan benar-benar ditegakkan, baik melalui jalur etik maupun pidana.