banner 728x90

“Islam Adalah Musuh Kami”—Ketika Lidah Peradaban Barat Tak Lagi Bertopeng

  • Bagikan
Silakan Bagikan:

“Islam Adalah Musuh Kami”—Ketika Lidah Peradaban Barat Tak Lagi Bertopeng Oleh : Fery Sorajuddin

OPINI– Pernyataan Keir Starmer, Perdana Menteri Inggris, telah menjungkirbalikkan apa yang selama ini dibungkus rapi oleh dunia Barat: citra humanis yang sebenarnya dibangun dari ketakutan laten terhadap Islam sebagai gagasan. Bukan karena jihad, bukan karena fanatisme, bukan pula karena politik identitas. Tapi karena Islam menawarkan sesuatu yang tak bisa ditawarkan oleh peradaban mereka: jawaban. Ya, jawaban atas pertanyaan eksistensial, atas krisis spiritual yang tak terobati oleh sekularisme, dan atas kontradiksi modernitas yang mulai tergerus oleh kehampaan nilai. Starmer berkata lantang, masalah utama kami bukan dengan umat Muslim, tetapi dengan Islam itu sendiri—dan dengan Muhammad, sang pembawa pesan. Sebuah pengakuan paling vulgar yang pernah terlontar dari mulut pemimpin negara yang mengklaim diri sebagai benteng liberalisme, demokrasi, dan hak asasi manusia. Inilah momen ketika epistemologi Barat terbuka. Ketika kekalahan simbolik peradaban mulai dibicarakan sebagai ancaman strategis nasional.

Kita tidak sedang berbicara tentang ujaran kebencian. Ini lebih dalam dari itu. Ini adalah epistemic rupture, retakan dalam bangunan pengetahuan Barat yang selama ini menyangsikan bahwa ada sistem berpikir lain yang mampu hidup dan bersinar tanpa harus mengekor pada rasionalisme Eropa. Starmer tidak sedang paranoid. Ia jujur. Dan kejujurannya menyakitkan. Ia mengakui bahwa Islam, di tengah masyarakat Eropa yang bebas berpikir, justru tampil sebagai solusi. Bahwa Muhammad, yang selama ini mereka letakkan dalam kurung orientalisme dan karikatur sinis, justru menjadi rujukan eksistensial. Inilah saat ketika liberalisme harus memilih: tetap setia pada kebebasan berpikir yang selama ini mereka banggakan, atau melanggarnya demi melindungi ego dan dominasi peradaban. Starmer memilih yang kedua. Maka lahirlah kebijakan-kebijakan represif yang bukan sekadar diskriminatif, tapi bersifat ideologis. Negara-negara Barat kini, katanya, harus “melawan Islam walau harus mengorbankan nilai-nilai liberal.” Ini bukan sekadar kontradiksi. Ini adalah suicidal paradox—bunuh diri ideologis yang dilakukan demi mempertahankan dominasi simbolik.

Ada satu kalimatnya yang paling telanjang: “Kami tak punya pilihan selain menghadapi arus Islamisasi dan gagasan Islam melalui berbagai cara. Sebab jika tidak, maka kami harus menerima bahwa Islam adalah agama yang sejati.” Pernyataan ini, jika ditarik dalam kerangka teori politik dan teologi, merupakan bentuk pengakuan terhadap superioritas narasi Islam sebagai alternatif grand narrative. Bahwa dunia modern tidak sedang kehabisan teknologi, tetapi sedang krisis makna. Dan Islam—dengan bangunan epistemik dan normatifnya yang utuh—menyediakan makna itu. Maka strategi selanjutnya adalah bagaimana membuat umat Islam merasa asing di Eropa: dari legalisasi ekstrem homoseksualitas, ateisme, hingga pembatasan migrasi umat Muslim. Tujuannya tunggal: menciptakan atmosfer sosial yang membuat umat Islam hengkang atau terlarut hingga tercerabut dari akar akidahnya. Di sinilah politik negara berubah menjadi alat persekusi kultural. Inilah wajah baru state-sponsored alienation, yaitu keterasingan yang didesain oleh negara agar ideologi tandingan tidak punya ruang tumbuh.

Dan ketika itu pun tak berhasil, kata Starmer, satu-satunya opsi yang tersisa adalah menciptakan perang. Bukan perang yang menyelesaikan konflik, tapi perang yang menciptakan disorientasi massal. Mengacaukan tatanan publik, membatasi kebebasan sipil, memporakporandakan negeri-negeri Muslim, agar Islam tidak bisa lagi hidup dalam damai. Karena justru dalam damailah, Islam menemukan kekuatan dakwahnya. Ketika kehidupan berjalan normal, ketika orang punya waktu berpikir dan mencari makna, maka Islam masuk tanpa diundang. Dan Barat, kata Starmer, tak bisa membiarkan itu. Sebab jika tidak, maka azan akan menggema di kota-kota mereka, masjid akan tumbuh di pusat peradaban mereka, dan ide-ide Muhammad akan menang dalam pemilu mereka. Dalam logika politik Barat, ini bukan sekadar kehilangan dominasi, tapi akhir dari sejarah mereka.

Lucunya, di tengah semua itu, Starmer justru mengakui bahwa mereka tidak boleh menguji nilai-nilai Islam. Karena ia tahu, pengujian itu hanya akan menuntun lebih banyak orang kepada Islam. Maka apa yang mereka lakukan adalah membendung, bukan berdialog. Menekan, bukan menyanggah. Inilah bentuk intellectual cowardice yang paling absurd dalam sejarah politik modern: ketakutan akan kebenaran yang tidak bisa disangkal. Ketakutan terhadap ide, bukan senjata. Dan dalam dunia yang mengklaim diri sebagai penjaga rasionalitas, ironi itu menjadi terlalu mencolok untuk disembunyikan.

Kini kita tahu, Gaza bukan hanya medan konflik. Ia adalah cermin. Dari reruntuhan gedung dan darah anak-anak Palestina, dunia melihat dengan jelas apa yang tersembunyi dalam dada para pemimpin Barat. Ketakutan mereka bukan pada bom. Tapi pada iman. Bukan pada radikalisme. Tapi pada Islam itu sendiri. Gaza, dengan segala kepedihannya, telah menggugurkan topeng-topeng yang selama ini dikenakan oleh peradaban yang konon menjunjung tinggi nilai. Kini wajah asli mereka tampak jelas: penuh luka kolonialisme yang belum sembuh, dan trauma ideologis yang terus memburu. Islam, bagi mereka, adalah ancaman bukan karena ia memusuhi, tetapi karena ia menjawab. Dan dalam dunia yang tengah sekarat mencari makna, siapa pun yang datang membawa jawaban adalah musuh paling berbahaya. (*)

banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *