banner 728x90

Pakar Hukum Unanda: Investasi Industri Tak Boleh Abaikan Keadilan Sosial dan Lingkungan

  • Bagikan
Silakan Bagikan:

FAKTA1.COM, MAKASSAR – Pembangunan kawasan industri dan pertambangan tidak boleh hanya dilihat sebagai proyek ekonomi semata.

Menurut Dr. Abdul Rahman Nur, SH., MH, pakar hukum dari Universitas Andi Djemma (Unanda) Palopo, investasi semacam itu harus berpijak pada empat pilar utama agar benar-benar berkeadilan dan berkelanjutan.

Hal tersebut disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Investasi Kawasan Industri dan Kedaulatan Ekonomi Daerah; Siapa yang Diuntungkan?” yang digelar oleh The Sawerigading Institute di Hotel MaxOne Makassar, Jumat (17/10).

Menurut Dr. Abdul Rahman, setiap rencana pembangunan kawasan industri harus memperoleh penerimaan sosial (social acceptance) dari masyarakat sekitar. Tanpa itu, potensi konflik sosial akan selalu mengintai.

“Warga lokal bukan sekadar penonton dalam proses pembangunan. Mereka harus menjadi bagian dari keputusan, penerima manfaat, sekaligus penjaga harmoni sosial di sekitar kawasan industri,” ujarnya.

Selain itu, kawasan industri juga harus layak secara ekonomi. Ia menegaskan, kelayakan ekonomi tidak cukup diukur dari besarnya investasi atau nilai ekspor yang dihasilkan. Lebih penting lagi adalah nilai tambah lokal, baik dalam bentuk penyerapan tenaga kerja, keterlibatan UMKM, maupun peningkatan kapasitas ekonomi masyarakat.

“Jika masyarakat di sekitar kawasan tetap miskin, sementara industri tumbuh pesat, maka itu bukan keberhasilan ekonomi daerah — melainkan ketimpangan baru,” katanya menegaskan.

Abdul Rahman juga menyoroti pentingnya aspek ekologis dalam pembangunan industri. Ia menilai, prinsip ramah lingkungan bukan hanya kewajiban administratif untuk mendapatkan izin AMDAL, tetapi merupakan komitmen moral dan hukum yang menentukan keberlanjutan kawasan.

“Kerusakan lingkungan akan menjadi beban jangka panjang bagi daerah. Industrialisasi tidak boleh menukar kesejahteraan hari ini dengan penderitaan ekologis di masa depan,” tambahnya.

Terakhir, ia menekankan pentingnya sistem monitoring dan pengawasan yang ketat dan independen. Banyak kawasan industri gagal karena lemahnya penegakan hukum dan tidak adanya mekanisme kontrol yang transparan.

“Pengawasan harus melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan media agar semua pihak bisa memastikan industri berjalan sesuai regulasi,” ujarnya.

“Tanpa penerimaan sosial dan pengawasan yang kuat, kawasan industri hanya akan menjadi sumber masalah baru di daerah,” tegas Abdul Rahman.

FGD tersebut menghadirkan sejumlah narasumber dari berbagai sektor, antara lain Vela Sari, Penata Kelola Penanaman Modal Ahli Madya BKPM/Kementerian Investasi RI; Nurfan Fatriah, Plt Kepala Bidang Perencanaan dan Pengembangan Iklim Investasi Dinas PM-PTSP Provinsi Sulawesi Selatan; Lily Dewi Candinegara, Direktur Bantaeng Huadi Industrial Park (HBIP); serta Prof. Dr. Ir. Andi Tamsil, M.Si, anggota Komisi AMDAL Sulsel sekaligus akademisi Universitas Muslim Indonesia (UMI).

Sekitar 70 peserta dari berbagai latar belakang hadir dalam diskusi ini, meliputi kalangan akademisi, advokat, aktivis LSM, organisasi pemuda dan mahasiswa, mantan birokrat, hingga pelaku bisnis dan lingkungan.

Direktur The Sawerigading Institute, Asri Tadda, mengatakan bahwa kegiatan ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi penting bagi pemerintah daerah yang tengah menyiapkan atau mengembangkan kawasan industri, khususnya di wilayah-wilayah seperti Kabupaten Luwu Timur.

“FGD ini menjadi ruang untuk memastikan agar investasi industri tidak hanya menguntungkan investor, tetapi juga harus membawa manfaat nyata bagi masyarakat dan daerah dengan memberikan ruang keberdayaan lokal yang lebih nyata,” ujar Asri. (*)

banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *