Fakta1.com, Konawe, 30 Juni 2025 — Polemik ribuan Surat Keterangan Tanah (SKT) di Kecamatan Routa, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara, kembali mencuat ke publik. Puluhan warga yang mengatasnamakan diri sebagai Kelompok Routa Menggugat menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Gedung DPRD Konawe, Senin (30/6), untuk menyuarakan tuntutan kejelasan hukum atas kepemilikan lahan mereka yang kini disengketakan.
RDP tersebut dipimpin langsung oleh Wakil Ketua I DPRD Konawe, Nuryadin Tombili, dan turut dihadiri sejumlah anggota Komisi II DPRD, serta pihak-pihak terkait lainnya. Agenda utama membahas legalitas ribuan SKT yang beredar di wilayah hutan produksi—yang secara hukum tidak diperkenankan untuk diterbitkan sebagai alas hak atas tanah.
Kelompok warga mengklaim memiliki sekitar 4.000 SKT, masing-masing mencakup dua hektare lahan, yang tersebar di tiga wilayah administratif: Desa Lalomerui, Desa Walandawe, dan Kelurahan Routa. Tanah-tanah tersebut berada di atas areal Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT Sulawesi Cahaya Mineral (SCM), sebuah perusahaan tambang besar yang mengantongi izin eksplorasi sejak Februari 2010.
Menurut Husaini, mantan Kepala Desa Walandawe, sebagian besar SKT tersebut diterbitkan antara tahun 2011 hingga 2012. Ia mengakui menjadi salah satu pejabat desa yang menandatangani dokumen-dokumen itu atas permintaan Edison, mantan Kepala SMPN 1 Routa, yang kala itu mengklaim mendapat restu dari Bupati Konawe.
“Saya menandatangani karena diminta Edison. Ia menyebut ada perintah dari Bupati. Saya sendiri tidak bisa memastikan koordinat pasti lahannya,” ungkap Husaini di hadapan forum RDP.
Namun pernyataan itu langsung memantik perdebatan, khususnya dari pihak perusahaan. PT SCM menegaskan bahwa wilayah IUP mereka sepenuhnya berada dalam kawasan Hutan Produksi yang secara hukum berada di bawah penguasaan negara. Hal ini diperkuat dengan dokumen perizinan yang sebelumnya diterbitkan atas nama PT Rio Tinto dan kemudian dialihkan ke PT SCM sejak 2010.
“SKT tidak dapat diterbitkan di kawasan Hutan Produksi, karena tanah tersebut tidak bisa dimiliki secara pribadi,” tegas Abdul Rahim Lahusi, SH, anggota Komisi II DPRD Konawe. Ia menambahkan, keberadaan SKT di atas kawasan tersebut harus dianggap tidak sah secara hukum.
Persoalan semakin kompleks setelah aktivis lokal, Randy Saputra Liambo, mengungkapkan bahwa jumlah SKT yang beredar jauh lebih besar dari yang diklaim sebelumnya, mencapai 9.470 lembar. Ia menuding adanya dugaan kuat pemalsuan dokumen, termasuk penggunaan tanda tangan kepala desa yang dipindai dan dicetak ulang secara ilegal.
“Dokumen-dokumen itu tidak hanya diterbitkan tanpa proses verifikasi, tapi juga sudah diperjualbelikan sejak 2019 hingga 2023 dengan harga Rp1 juta hingga Rp5 juta per lembar,” beber Randy. “Yang lebih ironis, sekitar 80 persen pemilik SKT bukan warga asli Routa, tapi dari luar daerah—bahkan ada yang dari Jawa Barat.”
Menurut Randy, laporan dugaan pemalsuan tanda tangan telah disampaikan ke Polres Konawe sejak 2021, namun hingga kini belum ada perkembangan signifikan dalam penanganan kasus tersebut. Ia mendesak aparat penegak hukum untuk bertindak lebih aktif dan transparan dalam menuntaskan perkara ini.
Di sisi lain, pihak DPRD menyatakan akan mengambil langkah-langkah lanjutan secara kelembagaan. Wakil Ketua I DPRD Konawe, Nuryadin Tombili, menegaskan bahwa pihaknya akan berkonsultasi dengan Pemerintah Kabupaten Konawe dan Forkopimda (Forum Koordinasi Pimpinan Daerah) guna mencari solusi terbaik yang memenuhi rasa keadilan bagi seluruh pihak.
“Kami tidak ingin masalah ini dibiarkan menggantung dan menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat. DPRD akan mengawal penyelesaian ini hingga tuntas, berdasarkan regulasi yang berlaku,” ujar Nuryadin.
RDP kemudian ditutup dengan komitmen DPRD untuk membentuk tim kecil atau merekomendasikan penyelidikan lanjutan secara administratif maupun pidana terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat dalam penerbitan dan peredaran SKT ilegal tersebut.