Oleh: Sidrajab-Wartawan Fakta1.com
FAKTA1.COM- Di Amerika Serikat, sebuah perubahan besar sedang berlangsung dalam kebiasaan publik mengonsumsi berita, dan ini bukan kabar baik bagi media konvensional.
Survei terbaru yang dirilis Reuters Institute dan University of Oxford menunjukkan bahwa mayoritas warga Amerika kini lebih banyak memperoleh berita dari media sosial dan platform video ketimbang dari televisi atau situs berita daring.
Sebanyak 54% responden menyebut media sosial sebagai sumber utama berita mereka dalam seminggu terakhir. TV turun ke posisi kedua dengan 50%, dan situs berita resmi berada di posisi ketiga dengan 48%.
Bagi wartawan muda dan para pengelola media lama, ini bukan hanya angka. Ini adalah dentuman keras perubahan zaman. Khususnya pada kelompok usia 18โ24 tahun, lonjakan kepercayaan terhadap media sosial sangat tajam: dari 41% ke 54% hanya dalam satu tahun.
Anak muda, yang dulu mungkin menonton berita malam bersama orang tua mereka, kini lebih memilih scroll TikTok atau membuka YouTube untuk mencari tahu apa yang terjadi di dunia.
Facebook masih jadi yang paling sering disebut (26%), diikuti YouTube (21%), Instagram (16%), WhatsApp (15%), X alias Twitter (11%), dan TikTok (10%). SisanyaโThreads, Reddit, Telegram, bahkan Blueskyโmasuk daftar, meski masih dengan persentase kecil.
Tapi jangan salah, seperti virus, tren digital menyebar cepat dan acak. Yang kecil hari ini bisa jadi raksasa esok lusa.
Lebih mengejutkan lagi, chatbot berbasis AI mulai masuk arena. Sekitar 7% responden global mengatakan mereka menggunakan chatbot seperti ChatGPT sebagai sumber berita mingguan.
Di kalangan Gen Z, angkanya naik menjadi 15%. Ini bukan sekadar statistik. Ini penanda zaman. Anak muda tidak lagi butuh pembaca berita berjas rapi. Mereka mulai memercayai mesin.
Bagi newsroom konvensional, ini tamparan. Tapi juga undangan untuk mengevaluasi: apakah kita masih berbicara dengan bahasa dan cara yang relevan?
Di balik gelombang kepercayaan terhadap media sosial, ada kehati-hatian. Hanya 14% yang langsung percaya pada berita dari media sosial. Sisanya tetap melakukan cek silang: 38% mencari informasi ke media yang sudah mereka percaya, 35% memeriksa ke sumber resmi, dan 25% memanfaatkan layanan pengecekan fakta. Tapi tetap saja, 58% publik global mengaku khawatir dengan hoaks. Di Amerika, angkanya bahkan tembus 73%.
Meski begitu, kepercayaan terhadap media secara umum tetap stagnan di angka 40% dalam tiga tahun terakhir. Ini bukan angka yang membuat lega, tapi setidaknya menunjukkan bahwa publik belum sepenuhnya menyerah pada dunia yang kacau.
Lalu bagaimana dengan tren konten?
Konsumsi video berita melonjak dari 55% pada 2021 menjadi 72% pada 2025. Tapi ini bukan kemenangan bagi redaksi TV. Sebanyak 61% dari mereka menonton lewat Facebook, YouTube, atau TikTokโbukan dari aplikasi berita resmi yang selama ini kita banggakan.
Di AS, 15% orang mendengar podcast berita setiap minggu, dan format video podcast kini jadi primadona. Formatnya lebih personal, lebih luwes, dan lebih dipercaya karena menghadirkan suara manusia, bukan narasi korporat.
Jika kita mundur sejenak dan melihat tren global sejak 2013, maka jelas bahwa tsunami perubahan sudah dimulai sejak lama. Pada 2013, TV masih memimpin dengan 72% sebagai sumber berita utama.
Media cetak masih bertahan di 47%. Tapi situs berita daring sudah mulai menyalip, mencapai 69%. Sementara media sosial baru 27%, masih seperti bocah kecil di lapangan. Dari tahun ke tahun, kita menyaksikan sendiri kejatuhan berita cetak. Angka kepercayaannya terjun bebas dan mentok di 26% sejak 2016.
Media sosial justru melonjak: dari 27% (2013) menjadi 51% (2017), lalu stabil di 55% pada 2019 dan seterusnya. Situs berita daring sempat menurun ke 57% pada 2016, lalu nyaris tidak bergerak banyak. Ini menunjukkan satu hal: publik digital tidak setia. Mereka mencari yang segar, yang sederhana, yang terasa manusiawi dan cepat.
Tahun 2020 membawa satu bentuk baru: podcast berita. Angkanya kecil, memang, tapi bertumbuh. Dari 6% pada 2020 ke 11% pada 2023.
Ini sinyal penting. Di tengah banjir visual, orang masih mencari suara yang bisa mereka dengar di perjalanan, saat beres-beres rumah, atau sebelum tidur. Format yang personal dan mendalam itu menjadi oasis dari keriuhan media sosial yang penuh gimmick.
Kemudian datanglah chatbot AI. Tahun 2023 mencatat 5% orang mulai mengandalkannya. Tahun berikutnya, 6%. Kecil? Mungkin. Tapi siapa yang bisa mengabaikan teknologi yang dalam satu tahun saja mampu menyusup ke daftar sumber berita global?
๐๐ฎ๐น๐ ๐ฎ๐ฝ๐ฎ ๐ฎ๐ฟ๐๐ถ๐ป๐๐ฎ ๐๐ฒ๐บ๐๐ฎ ๐ถ๐ป๐ถ ๐ฏ๐ฎ๐ด๐ถ ๐ฝ๐ฎ๐ฟ๐ฎ ๐๐ฎ๐ฟ๐๐ฎ๐๐ฎ๐ป ๐ฑ๐ฎ๐ป ๐ฝ๐ฒ๐ป๐ด๐ฒ๐น๐ผ๐น๐ฎ ๐บ๐ฒ๐ฑ๐ถ๐ฎ?
Sederhana tapi menyakitkan: wartawan dan media sedang kehilangan generasi baru. Sebagian besar audiens, khususnya Gen Z tidak lagi menyalakan TV untuk menonton berita jam tujuh. Mereka tidak lagi membuka situs berita hanya untuk membaca laporan panjang. Mereka membuka TikTok, lalu bertanya pada AI.
Ini bukan akhir perjalanan. Ini justru awal dari babak baru. Media sosial dan AI bukan musuh. Mereka adalah medan yang harus kita kuasai. Kita bisa memilih menjadi korban dari algoritma, atau menulis ulang algoritma itu dengan semangat jurnalisme yang jujur dan relevan.
Pesan saya kepada para wartawan muda di redaksiโdan kepada siapa pun yang peduli pada masa depan beritaโbelajarlah membaca data. Dengarkan audiens, pahami perubahan kebiasaan mereka, dan jangan anggap format baru sebagai ancaman.
Sekarang saatnya untuk berubah, untuk berevolusi, dan untuk tetap menulis cerita manusia dengan semangat manusia. Karena kalau tidak, sejarah akan ditulis oleh mesinโdan kita hanya akan jadi catatan kaki.
Dan jika ada yang bertanya siapa yang membunuh media konvensional, jawabannya bukan media sosial. Bukan juga AI. Tapi kesombongan wartawan dan pengelola media sendiri yang enggan berubah,” (FN/SID).