Gelar Unras, JAMHUS Desak Dirjen Minerba Cabut Izin Tambang Ilegal PT TMS

  • Bagikan
Silakan Bagikan:

Jakarta, fakta1.com — Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Jaringan Aktivis Mahasiswa Hukum Sultra–Jakarta (JAMHUS Jakarta) menggelar aksi dan menyerahkan laporan resmi ke Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Mereka menuntut pemerintah menegakkan hukum terhadap PT Tambang Matarape Sejahtera (TMS) yang diduga kuat melakukan penambangan ilegal di kawasan hutan tanpa izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Jum’ at, 24 Oktober 2025.

Aksi yang berlangsung di halaman kantor Dirjen Minerba, Jumat siang, itu menyoroti lemahnya pengawasan pemerintah terhadap perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah Sulawesi Tenggara. JAMHUS menyebut, praktik PT TMS telah melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

“PT TMS secara nyata melakukan kegiatan tambang di kawasan hutan tanpa IPPKH. Fakta penyegelan oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan Halilintar sudah cukup menjadi dasar hukum untuk mencabut seluruh izin RKAB dan IUP perusahaan itu,” ujar Muhammad Rahim, Koordinator JAMHUS Jakarta, kepada Tempo.

Berdasarkan hasil penelusuran JAMHUS, PT TMS beroperasi di area seluas 126,69 hektare yang termasuk dalam kawasan hutan negara. Struktur kepemilikan perusahaan melibatkan:

Budi Michael Oloan sebagai Komisaris Utama,
dengan kepemilikan saham: PT Tambang Nikel Permai (49%), Perumda Utama Sultra (4%), Perumda Konasara (6%), dan PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk (41%).

Keterlibatan ANTAM, yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan dua Perumda dalam entitas yang beroperasi tanpa izin, dinilai sebagai kelalaian hukum institusional dan berpotensi melanggar Pasal 55 KUHP tentang penyertaan dalam tindak pidana, serta Pasal 161 UU Minerba tentang kegiatan pertambangan tanpa izin resmi.

“Status BUMN tidak bisa dijadikan perisai hukum. Bila ANTAM ikut dalam struktur kepemilikan perusahaan yang beroperasi tanpa IPPKH, maka pertanggungjawaban pidana korporasi harus ditegakkan,” kata Rahim.

Ia menambahkan, praktik PT TMS telah melanggar prinsip Good Mining Practice dan mengabaikan kewajiban hukum lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 98 dan Pasal 116 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bentuk kejahatan korporasi,” ujarnya.

Dalam pernyataan sikap yang diterima Tempo, JAMHUS Jakarta menyampaikan enam tuntutan hukum utama:

  1. Pencabutan segera RKAB dan IUP PT Tambang Matarape Sejahtera sesuai ketentuan Pasal 119 UU Minerba.
  2. Penyidikan pidana korporasi dan individu terhadap Direksi dan Komisaris PT TMS, termasuk Simon Lambey dan Budi Michael Oloan, berdasarkan Pasal 161 UU Minerba dan Pasal 98 UU PPLH.
  3. Audit investigatif oleh BPK dan KPK terhadap keterlibatan PT ANTAM Tbk, Perumda Utama Sultra, dan Perumda Konasara dalam dugaan penambangan tanpa izin.
  4. Penindakan terhadap oknum pejabat dan aparat penegak hukum yang diduga membiarkan aktivitas tambang tanpa IPPKH.
  5. Pemulihan kawasan hutan dan pembayaran ganti rugi ekologis sesuai Pasal 87 UU PPLH.
  6. Penguatan sistem pengawasan Dirjen Minerba terhadap seluruh aktivitas pertambangan di Sulawesi Tenggara.

“Negara tidak boleh tunduk pada kepentingan korporasi. Bila hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, maka keadilan telah kehilangan maknanya,” ujar Rahim menegaskan.

Kasus PT Tambang Matarape Sejahtera, menurut JAMHUS, menjadi ujian integritas hukum dan moral bagi Dirjen Minerba dan Kementerian ESDM. Pembiaran terhadap pelanggaran semacam ini, kata mereka, berarti pembiaran terhadap kejahatan lingkungan.

“Dirjen Minerba tidak boleh berlindung di balik birokrasi. Fakta hukum sudah terang. Langkah hukum harus diambil — pencabutan izin dan proses pidana wajib dijalankan,” tutur Rahim.

JAMHUS juga menilai, lemahnya pengawasan Kementerian ESDM membuka ruang bagi praktik kolusi dan penyalahgunaan wewenang di sektor pertambangan. “Kami akan mengawal kasus ini hingga tuntas,” katanya.

Hingga berita ini diturunkan, Kementerian ESDM belum memberikan pernyataan resmi.
Namun sumber internal di lingkungan Minerba menyebutkan, tim verifikasi perizinan tengah menelaah laporan dan dokumen penyegelan dari Satgas Halilintar.

Sementara itu, pihak PT ANTAM Tbk juga belum menanggapi permintaan konfirmasi terkait dugaan keterlibatan mereka dalam struktur kepemilikan PT TMS.

Kasus PT Tambang Matarape Sejahtera menjadi salah satu dari sekian contoh lemahnya penegakan hukum di sektor tambang daerah. Di atas kertas, regulasi sudah tegas, tetapi praktik di lapangan masih menunjukkan celah kompromi antara pengusaha, birokrat, dan aparat penegak hukum.

Jika benar terbukti menambang tanpa IPPKH, maka PT TMS dapat dijerat dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda hingga Rp10 miliar. Namun di atas sanksi itu, kata JAMHUS, yang paling ditunggu publik adalah keberanian negara menegakkan hukum tanpa pandang bulu.

“Kejahatan lingkungan adalah kejahatan terhadap negara,”ujar Rahim menutup pernyataannya.

banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *