Konawe, fakta1.com â Persoalan hukum kembali mencuat dari tingkat pemerintahan desa. Kali ini datang dari Desa Latoma Jaya, Kecamatan Latoma, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) setempat, MAPI (69), memilih menempuh jalur hukum setelah tidak menerima honorariumnya selama dua bulan berturut-turut, yakni bulan April dan Mei 2025. Dugaan adanya penyimpangan keuangan desa ini berujung pada pelaporan resmi terhadap Kepala Desa berinisial M ke Kepolisian Sektor (Polsek) Abuki pada 30 Juni 2025.
Laporan tersebut teregistrasi sebagai bentuk keberatan hukum atas hak keuangan yang tidak disalurkan sebagaimana mestinya. Dalam keterangan tertulis kepada pihak kepolisian, MAPI menyatakan bahwa haknya sebagai pejabat lembaga desa telah dikebiri tanpa dasar hukum yang sah. Lebih lanjut, ia juga mengungkapkan telah melakukan konfirmasi langsung kepada tiga anggota BPD lainnyaâW, HT, dan Aâyang seluruhnya mengaku telah menerima honorarium mereka secara utuh sesuai jadwal.
Kondisi tersebut memperkuat dugaan bahwa telah terjadi perlakuan tidak adil dan diskriminatif dalam mekanisme pencairan dana desa yang diduga dikuasai secara sepihak oleh Kepala Desa. Merasa dirugikan dan tidak memperoleh perlakuan yang setara, MAPI mengutus istrinya untuk mengambil honor tersebut secara langsung ke rumah pribadi Kepala Desa. Namun yang bersangkutan justru memberikan jawaban mengejutkanâbahwa dana tersebut telah âhilangâ.
âSaya tidak bisa menerima alasan yang tidak masuk akal. Ini bukan sekadar uang, ini adalah hak konstitusional saya yang dijamin oleh hukum dalam struktur kelembagaan desa. Jika ada dana publik yang âhilangâ, maka itu adalah dugaan tindak pidana, dan harus diproses secara hukum,â ujar MAPI dengan nada tegas saat dikonfirmasi wartawan.
Kepala Kepolisian Sektor Abuki, Inspektur Polisi Dua (Iptu) Asmudin, S.Sos., telah mengonfirmasi bahwa pihaknya telah menerima laporan resmi tersebut. âBenar, laporan dugaan penghilangan atau penggelapan honor Wakil Ketua BPD telah kami terima dan saat ini kami sedang dalam tahap mediasi awal. Jika tidak ada titik temu, proses akan kami lanjutkan ke tahap penyelidikan dan penyidikan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,â ujar Iptu Asmudin.
Secara hukum, apabila benar terjadi penguasaan atau penggunaan dana milik pihak lain secara tidak sah, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jika penggelapan dilakukan oleh seseorang dalam jabatannya sebagai penyelenggara negara atau aparatur desa, maka dapat pula dikenakan pasal penyalahgunaan wewenang, sebagaimana diatur dalam Pasal 421 KUHP dan/atau dikaitkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain aspek pidana, persoalan ini juga menimbulkan implikasi administratif dan etis terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menegaskan bahwa Kepala Desa wajib menyelenggarakan pemerintahan desa secara transparan, akuntabel, dan partisipatif. Apabila terdapat indikasi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tersebut, maka hal itu dapat menjadi dasar bagi pemberian sanksi administratif, pemberhentian sementara, atau bahkan pemberhentian tetap bagi Kepala Desa yang bersangkutan.
Kasus ini telah menarik perhatian berbagai elemen masyarakat dan pemerhati kebijakan publik, yang menilai pentingnya penguatan sistem pengawasan internal dan eksternal terhadap pengelolaan Dana Desa. Lembaga-lembaga seperti Inspektorat Daerah, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), hingga Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) didesak untuk segera turun tangan melakukan audit investigatif secara menyeluruh.
MAPI menyatakan bahwa dirinya tidak akan mundur dari proses hukum ini dan siap memperjuangkan haknya melalui jalur hukum hingga tuntas. âKami tidak ingin ada lagi penyalahgunaan kekuasaan di desa. Hukum harus ditegakkan, dan kepala desa tidak boleh bertindak semena-mena terhadap dana publik,â pungkasnya.
Masyarakat kini menanti sikap tegas aparat penegak hukum, agar supremasi hukum benar-benar hadir hingga ke tingkat desa, serta menjadi preseden penting dalam upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan desa yang bersih, jujur, dan berkeadilan.