KONAWE, FAKTA1.COM – Jalan nasional di Konawe kini berubah fungsi: bukan lagi akses publik, tapi jalur lalu lintas truk tambang nikel milik PT ST Nickel Resources. Ironisnya, aktivitas ini dilakukan tanpa izin resmi. Lebih dari itu, dugaan suap mengemuka—mengarah ke aparat, LSM, dan media—demi membungkam kritik dan menutupi pelanggaran.
Sumber internal perusahaan menyebut dana suap yang digelontorkan mencapai Rp100 hingga Rp200 juta. Uang itu diduga mengalir melalui dua orang penghubung lapangan, Marlin dan Agus, yang bukan bagian resmi perusahaan. Tujuannya jelas: mensterilkan jalur distribusi ore dari Pondidaha ke Jetty PT TAS di Kendari dari aksi demo dan pemberitaan miring.

“Rp200 juta demi membeli diamnya hukum dan akal sehat. Ini penghinaan terhadap negara,” ungkap sumber internal dengan nada geram.
Jabal Nur, Humas PT ST Nickel, tak membantah. Ia mengaku mendengar hal serupa. “Saya dengar Marlin dan Agus pegang dana ratusan juta, katanya buat pengamanan aktivitas,” ujarnya.
Namun masyarakat Sampara menolak tunduk. Aris Wahab, Haswar, dan Ade Herman bersuara keras. “Apa aparat sudah buta? Truk hilir mudik tiap hari dengan muatan berlebih. Ini penghinaan terhadap logika,” kata Aris.
Haswar mengeluhkan gangguan berat akibat kebisingan. “Anak-anak trauma. Malam pun kami tak bisa tidur.”
Ade Herman lebih tajam: “Kalau dibiarkan, tinggal tunggu korban jatuh. Negara hadir atau tidak?”
Kerusakan jalan nasional kian parah. Lubang menganga, retakan memanjang, dan debu beterbangan setiap hari. Jalan umum berubah jadi jalur industri.
Ketua Aliansi Wartawan Indonesia (AWI) Konawe, Jumalin, mengkritik keras. Ia menyebut aparat telah gagal menjalankan fungsi konstitusionalnya. “Kalau suara rakyat bisa dibungkam dengan uang, berarti hukum ini sedang dikubur,” tegasnya.
Ia juga menyentil media yang memilih diam, diduga karena turut menerima dana pengamanan. “Media jangan jadi corong tambang. Kita harus kembali ke marwah: membela rakyat.”
Lebih dari itu, muncul dugaan penggunaan BBM bersubsidi dalam aktivitas tambang. Jika benar, PT ST Nickel tak hanya melanggar izin jalan, tapi juga merampas hak rakyat miskin.
“Solar subsidi itu bukan untuk korporasi rakus,” tegas Jumalin. Ia menuntut audit dan sidak di lapangan, serta mendesak BPJN Sultra bertindak. “Kalau BPJN diam, berarti ikut bermain.”
Kasus ini menjadi cermin bagaimana hukum bisa dibungkam, rakyat dikorbankan, dan jalan negara dijadikan jalur tambang. Negara harus segera turun tangan—sebelum rakyat yang turun ke jalan.