Fakta1.com, Konawe — Dunia industri kembali diguncang oleh tragedi kecelakaan kerja yang menimbulkan korban manusia. Seorang pekerja atas nama Fiqri, operator DT/MPU yang merupakan bagian dari anak perusahaan PT Multi Prima Usahatama—mitra kerja PT Obsidian Stainless Steel (PT OSS)—mengalami luka bakar berat yang menyebabkan cacat permanen, dalam insiden yang terjadi di kawasan industri Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Berdasarkan informasi yang dihimpun di lapangan serta beredarnya rekaman video amatir, insiden terjadi saat korban turun dari kendaraan untuk memeriksa kondisi sleck—material limbah panas hasil produksi nikel. Tanpa perlindungan keselamatan yang memadai, korban diduga terperosok ke dalam sleck panas yang baru dibuang, menyebabkan luka bakar parah hingga kerusakan jaringan tubuh yang tidak dapat dipulihkan.
Rekaman tersebut memperlihatkan kepanikan para pekerja di area Smelter 1 yang berupaya mengevakuasi korban dalam situasi darurat. Peristiwa ini kembali menyoroti lemahnya penerapan Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di sektor industri berat, khususnya di kawasan strategis Morosi yang menjadi jantung hilirisasi nikel nasional.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, serta Permenaker Nomor 5 Tahun 2018 tentang Sistem Manajemen K3, setiap pemberi kerja wajib melakukan identifikasi risiko kerja, menyediakan alat pelindung diri (APD), serta menjamin keselamatan pekerja selama proses produksi berlangsung.
Jika terbukti terdapat unsur kelalaian dalam pengawasan atau penyediaan APD, maka pihak perusahaan, baik induk maupun mitra kerja, dapat dikenai sanksi administratif hingga pidana. Dalam hal ini, Pasal 360 KUHP dapat dijadikan dasar hukum, yang menyatakan bahwa kelalaian yang mengakibatkan luka berat atau cacat permanen dapat dihukum pidana penjara.
Menanggapi peristiwa ini, Ketua Exco Partai Buruh Kabupaten Konawe, Jhonal Prayogo, S.Sos., M.H., menyatakan kecaman keras atas kelalaian yang mengakibatkan cacat permanen terhadap pekerja.
“Kami mengecam dan mengutuk keras kejadian ini. Sudah terlalu sering insiden semacam ini terjadi di kawasan industri Morosi. Ini bukan lagi kecelakaan biasa, melainkan indikasi kegagalan sistemik. Negara wajib hadir dan bertindak tegas. Keselamatan kerja adalah hak konstitusional, bukan sekadar formalitas administratif,” tegas Jhonal.
Ia juga menyerukan agar dilakukan investigasi independen oleh pemerintah pusat dan daerah, termasuk audit menyeluruh terhadap sistem manajemen K3 yang diterapkan oleh PT OSS dan seluruh perusahaan mitra operasionalnya.
Sebagai kawasan industri strategis nasional, Morosi menyerap ribuan tenaga kerja dan menjadi tulang punggung ekspor nikel Indonesia. Namun, pertumbuhan ekonomi yang masif di kawasan ini tidak dibarengi dengan peningkatan sistem perlindungan kerja. Laporan dari berbagai organisasi buruh menyebutkan masih maraknya jam kerja berlebihan, minimnya pelatihan keselamatan, serta APD yang tidak sesuai standar.
Bahkan, sejumlah kecelakaan yang terjadi sebelumnya diduga tidak pernah dipublikasikan atau ditindaklanjuti secara transparan, menimbulkan kekhawatiran akan praktik impunitas dan pelanggaran hak-hak dasar pekerja.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak manajemen PT OSS maupun PT Multi Prima Usahatama terkait kejadian ini—baik menyangkut penanganan korban, pemberian kompensasi, maupun rehabilitasi jangka panjang.
Organisasi buruh, aktivis, dan tokoh masyarakat mendesak agar seluruh proses penanganan insiden ini dilakukan secara terbuka, transparan, dan berkeadilan, serta memastikan bahwa perusahaan tidak hanya bertanggung jawab secara moral, tetapi juga secara hukum.
“Keselamatan kerja bukan pilihan, melainkan kewajiban mutlak sebagaimana diatur dalam hukum nasional dan standar internasional. Setiap pelanggaran terhadap prinsip ini harus diusut tuntas. Tidak boleh ada lagi toleransi terhadap kelalaian yang mengorbankan nyawa atau masa depan pekerja,” pungkas Jhonal Prayogo.(timfakta)