FAKTA1.COM, KONAWE – Gedung DPRD Konawe bergetar oleh gelombang amarah mahasiswa Universitas Lakidende (Unilaki), Senin (19/5/2025). Ratusan mahasiswa turun ke jalan, membawa suara-suara yang selama ini dibungkam dalam sunyi—menuntut keadilan atas carut-marut penyaluran dana beasiswa Corporate Social Responsibility (CSR) di bumi Anoa.
Dengan lantang, mahasiswa menyebut program beasiswa CSR sebagai “ilusi manis yang dikemas rapi, tapi berisi racun ketidakadilan.” Mereka menilai distribusi dana tersebut penuh kejanggalan, tidak merata, dan dijalankan dalam gelap, jauh dari pantauan publik dan lembaga legislatif.
“Banyak dari kami yang nyaris putus kuliah karena beasiswa yang dijanjikan tak pernah menyentuh kami,” teriak Ketua BEM Unilaki dari atas mobil komando.
“Sementara, ada pihak-pihak yang menikmati dana itu secara diam-diam—di balik meja, di balik layar, dan di balik kepentingan!”
Lebih memilukan, salah satu orator aksi dengan suara bergetar menambahkan:
“Sudah banyak dari kami yang benar-benar putus pendidikan hanya karena uang semester. Orang tua kami menjual tanah, sapi, bahkan menggadaikan barang demi membayar SPP. Lalu, di mana beasiswa yang katanya untuk kami?”
Tudingan keras pun diarahkan ke pemerintah daerah dan perusahaan-perusahaan tambang. Mahasiswa menilai ada ‘main mata’ dalam penyaluran dana CSR. Skema yang seharusnya menjadi jembatan masa depan justru berubah menjadi jurang kesenjangan.
Ketua DPRD Konawe, I Made Asmaya, yang akhirnya turun menemui massa, mengaku terkejut dan kecewa.
“Saya juga mempertanyakan, kenapa dana CSR bisa disalurkan tanpa koordinasi dengan DPRD? Ini jelas ada yang tidak beres. Bahkan saya baru tahu kalau ada dana masuk begitu saja ke dinas,” ungkapnya.
Pernyataan ini justru memunculkan tanda tanya besar:
Apa sebenarnya fungsi pengawasan DPRD jika dana sebesar itu bisa mengalir tanpa sepengetahuan mereka? Ataukah DPRD hanya menjadi simbol tanpa gigi ?
DPRD berjanji akan memanggil Dinas Pendidikan dan perusahaan tambang yang terlibat. Namun di mata mahasiswa, janji saja tak cukup. Mereka menuntut keterlibatan dalam proses pengawasan, agar tak lagi menjadi korban dari sistem yang pincang.
“Kalau DPRD memang berpihak pada rakyat, buktikan sekarang. Jangan hanya jadi panggung drama politik tanpa akhir!” tutup seorang mahasiswa dengan suara yang menggelegar.
Kini, semua mata tertuju pada dewan perwakilan rakyat Daerah dan dinas terkait. Apakah akan benar-benar berpihak, atau justru membiarkan dusta ini terus membusuk dalam diam? (*/tim)