FAKTA1.COM, KONAWE— Wacana revisi Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) dan Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) kembali mengemuka dalam diskusi publik. Perubahan ini diharapkan mampu membawa reformasi dalam sistem penegakan hukum yang lebih adil, transparan, dan akuntabel.
Masyarakat memiliki beragam persepsi terhadap penegakan hukum di Indonesia. Ketidakjelasan aturan, minimnya sosialisasi hukum, serta anggapan bahwa hukum lebih tajam ke bawah dan tumpul ke atas menjadi isu yang kerap diperbincangkan.
Ketua Dewan pimpinan Cabang Persatuan pewarta warga Indonesia, (DPC PPWI) Kabupaten Konawe, Andi IFitrah Porondosi, menilai penegakan hukum di Indonesia masih belum adil. “Persepsi lain yang berkembang adalah anggapan bahwa hukum dapat direkayasa dan penegakan aturan lebih condong kepada masyarakat kecil dibandingkan dengan mereka yang memiliki kekuasaan.
Selain itu, stereotip terhadap aparat penegak hukum turut menjadi sorotan. “Di satu sisi, aparat kerap dipandang tegas, disiplin, dan melindungi masyarakat. Namun, di sisi lain, muncul anggapan negatif seperti praktik suap, tebang pilih dalam penegakan hukum, serta kecenderungan mencari celah aturan,” terang Andi IFitrah Porondosi
Labelisasi seperti “Pasal karet” dan “No viral, No Justice” menjadi cerminan dari ketidak percayaan sebagian masyarakat terhadap sistem hukum yang ada. Dalam konteks penegakan hukum, kewenangan yang dimiliki oleh kepolisian dan kejaksaan menjadi aspek krusial.
UU Polri mengatur tugas dan wewenang kepolisian dalam penyidikan dan penegakan hukum, sementara UU Kejaksaan memberikan kewenangan kepada jaksa dalam penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan.
Realitas penegakan hukum di Indonesia masih menghadapi tantangan besar, seperti ketidakmerataan akses terhadap keadilan, praktik korupsi di lembaga penegak hukum, serta minimnya pendidikan dan pelatihan bagi aparat.
Andi, Panggilan akrabnya, menambahkan partisipasi masyarakat dalam proses hukum juga masih rendah, sementara upaya reformasi hukum terus diupayakan guna meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Sejumlah pihak menyoroti UU No. 11 Tahun 2021 sebagai bahan evaluasi dalam proses reformasi hukum.
Ketidakpuasan masyarakat terhadap implementasi undang-undang ini kerap disuarakan melalui mekanisme judicial review. “Judicial review dinilai menjadi saluran aspirasi bagi masyarakat untuk menyampaikan keberatan terhadap regulasi yang dianggap kurang berpihak pada keadilan,”Tutup Andi Ifitrah (*)