Konawe Utara, Sulawesi Tenggara – PT Makkuraga Tama Kreasindo (MTK), perusahaan yang beroperasi di Kecamatan Motui, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, kembali menjadi sorotan tajam. Perusahaan ini diduga melakukan pelanggaran serius terhadap hak-hak tenaga kerja, setelah empat orang karyawan dilaporkan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak, tanpa dasar hukum yang jelas.
Salah satu korban, Adrian, mengungkapkan bahwa PHK dilakukan tanpa pemberitahuan tertulis, tanpa proses mediasi, dan tanpa pembayaran hak-hak normatif seperti gaji terakhir, pesangon, atau surat keterangan kerja.
“Kami diberhentikan begitu saja, tanpa surat, tanpa penjelasan. Tiba-tiba diminta tidak masuk kerja. Gaji bulan terakhir pun belum dibayar,” tegas Adrian, Sabtu malam (31/5/2025).
Adrian menambahkan bahwa mereka juga tidak diberikan kompensasi sesuai perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) sebagai pengganti pesangon.
PHK Sepihak Usai Tuntutan Hak Pekerja
Diduga kuat, PHK sepihak ini terjadi setelah para pekerja melakukan aksi damai berupa pemalangan jalan hauling di wilayah IUP PT Bumi Konawe Abadi pada 22 Mei 2025. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk protes atas ketidakadilan upah yang diterima—hanya Rp2,3 juta, jauh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP)—dan tidak adanya respons dari pihak perusahaan meski telah empat kali menghadap ke HRD.
“Kami hanya menuntut hak kami sesuai PP No. 36 Tahun 2021 dan UU Ketenagakerjaan. Tapi justru kami dipecat,” ungkap Adrian dengan nada geram.
Adrian juga menyebut bahwa mereka mendapat informasi pada Sabtu pagi (31/5/2025) bahwa mereka resmi diberhentikan per 1 Juni 2025. PHK ini dinilai sebagai tindakan balasan atas aksi mereka menuntut hak dasar sebagai pekerja.
Empat Nama Korban PHK Sepihak
Empat orang karyawan yang dipecat secara sepihak antara lain:
Iswanto
Indra Gunawan
Sultan
Adrian
Hingga berita ini diturunkan, manajemen PT MTK belum memberikan pernyataan resmi maupun klarifikasi atas dugaan pelanggaran ini.
Pelanggaran Berat, Ancaman Pidana dan Sanksi
Tindakan yang dilakukan oleh PT MTK ini berpotensi melanggar PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan UU Ketenagakerjaan. Pelanggaran terhadap regulasi ini tidak bisa dianggap enteng—pelaku dapat dikenai sanksi pidana, denda, hingga pembekuan izin usaha.
Kasus ini memperkuat dugaan bahwa sektor pertambangan masih menjadi lahan subur bagi pelanggaran hak-hak dasar pekerja. Pemerintah dan instansi terkait didesak untuk segera turun tangan dan menindak tegas perusahaan-perusahaan yang terbukti melanggar hukum ketenagakerjaan.
“Kami hanya ingin keadilan dan hak kami dipenuhi. Jangan terus-menerus pekerja lokal diperlakukan sewenang-wenang,” pungkas Adrian.(timfakta)