FAKTA1.COM, Morosi, Sulawesi Tenggara — Aktivitas pemuatan ribuan ban bekas di Jety Morosi, Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, diduga berlangsung secara ilegal dan telah terjadi selama lebih dari satu minggu.
Kegiatan tersebut dilakukan secara tertutup pada malam hari, menggunakan tongkang berkapasitas sekitar 10.000 ton, tanpa dokumen perizinan yang jelas. Warga setempat menilai aktivitas ini sebagai bentuk kejahatan lingkungan yang terbuka.
“Saya lihat langsung, ban-ban itu dimuat malam hari pakai tongkang besar. Jumlahnya ribuan, tanpa pengawasan,” ujar seorang saksi mata yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Menanggapi temuan ini, wakil sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Lumbung Informasi Rakyat Kabupaten Konawe, Agus Marwan menyatakan sikap tegas.
“Ini jelas kejahatan lingkungan yang sistematis. Negara tidak boleh tunduk pada mafia tambang. Kami akan laporkan secara resmi ke Polda Sultra!” tegasnya, Jumat (20/6/2025)
Agus Marwan,menyebut telah mengantongi sejumlah bukti awal serta keterangan dari warga yang siap diserahkan kepada pihak berwenang. Ia mendesak tindakan tegas dan cepat dari aparat penegak hukum.
“Kalau ini dibiarkan, semua jenis limbah bisa dibuang seenaknya. Lokasi harus segera disegel dan semua pihak terkait diperiksa,” imbuhnya.
Pihak-Pihak yang Diduga Terlibat:
- Perusahaan Tambang:
PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI)
PT Obsidian Stainless Steel (OSS)
→ Diduga sebagai penghasil utama limbah ban dari alat berat operasional.
- Pengelola Jety Morosi:
→ Diduga memberikan akses bongkar muat tanpa pengawasan yang memadai. - Jalur Distribusi / Perantara Limbah:
→ Diduga berperan sebagai penghubung antara perusahaan, pembeli, dan operator dermaga. - Pembeli dari Pulau Jawa:
→ Diduga membeli limbah untuk keperluan daur ulang produk rumah tangga. - Pejabat dan Instansi Terkait, Dinas Lingkungan Hidup (Kabupaten/Kota dan Provinsi)
Pemerintah Desa setempat
→ Diduga lalai dalam pengawasan dan tidak mengambil langkah pencegahan.
Ancaman Hukum: Penjara Hingga 10 Tahun
Jika ban bekas tersebut dikategorikan sebagai limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), maka kegiatan ini melanggar Pasal 103 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan:
“Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak mengelolanya sesuai ketentuan dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000.
LIRA bersama aktivis lingkungan dan tokoh masyarakat menuntut,
Penyegelan sementara Jety Morosi
Investigasi menyeluruh terhadap sumber dan alur distribusi limbah.
Pemeriksaan dokumen perizinan dan dokumen AMDAL.
Proses hukum terhadap semua pihak yang diduga terlibat.
Agus Marwan,juga mempertanyakan lemahnya pengawasan aparat di lapangan, termasuk Polsek Bondoala dan pihak Imigrasi, yang seharusnya mengawasi aktivitas bongkar muat dan keberadaan tenaga kerja asing (TKA) di sekitar pelabuhan.
“Kalau kegiatan sebesar ini bisa berjalan lebih dari seminggu tanpa hambatan, sangat patut dipertanyakan pengawasan aparat lokal,” ujar salah satu tokoh masyarakat Morosi.
Jika ditemukan bahwa TKA ikut terlibat tanpa dokumen resmi, maka pihak Imigrasi wajib mengambil tindakan. Begitu pula, jika aparat kepolisian mengetahui aktivitas ini tetapi tidak bertindak, maka dapat masuk dalam kategori dugaan kelalaian atau pembiaran.
“Jika ini benar melibatkan perusahaan, mafia limbah, dan oknum pemerintah, maka ini kejahatan lingkungan yang terorganisir. Tangkap pelakunya, cabut izinnya!” tegas Agus.
Ia juga menambahkan “Kami akan dalami apakah ada unsur kelalaian dari aparat, baik dari pihak Polsek maupun Imigrasi. Jika terbukti, harus ada pertanggungjawaban hukum.”