Kendari – Dalam momentum aksi serentak 1 September 2025 di Sulawesi Tenggara, Danrem 143/HO, Brigjen TNI R. Wahyu Sugiarto, S.I.P., M.Han., turun langsung di tengah massa aksi untuk memastikan bahwa jalannya demokrasi berlangsung secara tertib, damai, dan bermartabat. Ia menegaskan, kehadiran TNI di ruang publik tidak dimaksudkan sebagai instrumen tekanan psikologis, melainkan sebagai pilar stabilitas yang menjamin demokrasi tetap berada dalam koridor aman dan konstruktif.
Menurut Brigjen Wahyu, demokrasi sejatinya hanya dapat tumbuh dalam iklim yang bebas dari rasa tertekan maupun rasa khawatir berlebihan. Oleh karena itu, kehadiran TNI bersama Polri harus dipahami sebagai bentuk tanggung jawab institusional dalam menciptakan rasa aman kolektif. Dengan adanya jaminan rasa aman tersebut, masyarakat dapat menyampaikan aspirasi secara tertib, sehat, dan sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan.
“Kami hadir bukan untuk menimbulkan beban psikologis, tetapi untuk membangun rasa aman. Demokrasi membutuhkan stabilitas, karena hanya dalam kondisi yang terjamin ketertibannya aspirasi dapat disampaikan secara sehat dan membangun,” tegas Brigjen Wahyu.
Ia juga menekankan pentingnya sinergitas TNI–Polri sebagai fondasi utama dalam menjaga ketertiban masyarakat. Sinergi tersebut, menurutnya, bukan hanya soal teknis operasional di lapangan, tetapi juga mencerminkan konsolidasi institusional yang berorientasi pada kohesi sosial serta keutuhan bangsa.
Lebih lanjut, Brigjen Wahyu menjelaskan bahwa TNI harus hadir dengan wajah netral dan humanis. Netralitas dimaknai sebagai sikap menjaga jarak dari kepentingan politik praktis, sementara pendekatan humanis berarti mengedepankan perlindungan serta meminimalkan potensi tekanan psikologis bagi masyarakat.
“TNI tidak boleh dipersepsikan sebagai kekuatan represif. Kehadiran kami justru untuk memastikan bahwa setiap warga negara dapat menyalurkan hak konstitusionalnya secara bebas, tanpa merasa terintimidasi atau tertekan,” ujarnya menambahkan.
Aksi serentak di Kendari, Konawe, hingga Baubau yang berlangsung damai, menurut Brigjen Wahyu, merupakan bukti bahwa pola pengamanan berbasis kolaborasi, dengan pendekatan humanis dan psikologis, mampu menciptakan harmoni sosial. Aktivitas masyarakat tetap berjalan normal, sementara aspirasi publik tersampaikan dalam suasana tertib.
Sejumlah akademisi di Sulawesi Tenggara menilai sikap Danrem 143/HO tersebut sebagai representasi paradigma baru dalam hubungan sipil–militer di era demokrasi. Militer tidak lagi semata dipahami sebagai kekuatan koersif, tetapi telah berevolusi menjadi aktor protektif yang berperan sebagai stabilisator sekaligus katalisator demokratisasi di tingkat lokal maupun nasional.
Paradigma baru ini, menurut para pengamat, menjadi modal penting bagi Sulawesi Tenggara dalam membangun tradisi demokrasi yang sehat. Kehadiran TNI yang mengedepankan pendekatan psikologis, intelektual, dan humanis akan mendorong terciptanya ruang publik yang lebih kondusif, di mana aspirasi masyarakat dapat bergulir tanpa menimbulkan gejolak sosial yang kontraproduktif.